;

Kamis, 21 Juli 2016

LAPORAN PENDAHULUAN : APENDISITIS

Kamis, 21 Juli 2016

   A.    KONSEP DASAR PENYAKIT
   1.      Definisi/Pengertian
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Smeltzer, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, danEnterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

2.      Penyebab/Faktor Predisposisi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:
a.    Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:
1)      Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2)      Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3)      Adanya benda asing seperti biji-bijian
4)      Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b.    Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
c.    Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
d.   Tergantung pada bentuk apendiks:
1)      Appendik yang terlalu panjang
2)      Massa appendiks yang pendek
3)      Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4)      Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)
3.      Klasifikasi
a.    Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1)      Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2)      Fekalit
3)      Benda asing
4)      Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
b.    Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c.    Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria  mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d.   Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
e.    Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
f.     Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan  hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g.    Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan



4.      Pathway



5.      Manifestasi Klinik
a.    Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b.    Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c.    Nyeri tekan lepas dijumpai.
d.   Terdapat konstipasi atau diare.
e.    Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f.     Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g.    Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h.    Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i.      Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j.      Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
k.    Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan
Tanda dan gejala
Rovsing’s sign
Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s sign
Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign
Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign
Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk
Ten Horn sign
Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign
Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign
Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign
Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan (akan positif Shchetkin-Bloomberg’s sign)
Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba


6.      Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
a.    Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b.    Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutamapolymorphonuclear (PMN)Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c.    Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

7.      Pemeriksaan Penunjang
a.    Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b.    Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
c.    Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d.   Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e.    Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
f.     Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
g.    Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

8.      Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
a.       Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
b.      Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
c.       Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

B.     KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.    Pengkajian Keperawatan
Wawancara untuk mendapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai:
a.       Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
b.      Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan klien sekarang.
c.       Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
d.      Kebiasaan eliminasi.
e.       Pemeriksaan Fisik
         i.      Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
       ii.      Sirkulasi : Takikardia.
     iii.      Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
f.       Aktivitas/istirahat : Malaise.
g.      Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
h.      Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.
i.        Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
j.        Demam lebih dari 38oC.
k.      Data psikologis klien nampak gelisah.
l.        Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
m.    Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
n.      Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.

2.            Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a.      Pre operasi
1)   Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
2)   Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
3)   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4)   Cemas  berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.

b.      Post operasi
1)   Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
2)   Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
3)   Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4)   Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi.






3.       Rencana Keperawatan
PRE OPERASI
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
NOC
NIC
RASIONAL
1.
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan nyeri klien berkurang dengan kriteria hasil :
-          Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
-          Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
-          Tanda vital dalam rentang normal : TD (systole 110-130mmHg, diastole 70-90mmHg), HR(60-100x/menit), RR (16-24x/menit), suhu (36,5-37,50C)
-          Klien tampak rileks mampu tidur/istirahat
-          Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.


-          Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri

-          Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam

-          Berikan aktivitas hiburan (ngobrol dengan anggota keluarga)
-          Observasi tanda-tanda vital

-          Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik
-          Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya
-          Informasi yang tepat dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien dan menambah pengetahuan pasien tentang nyeri.
-          Napas dalam dapat menghirup O2 secara adequate sehingga otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
-          Meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan kooping.

-          Deteksi dini terhadap perkembangan kesehatan pasien.
-          Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri.



2.
Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan konstipasi klien teratasi dengan kriteria hasil:
-       BAB 1-2 kali/hari
-       Feses lunak
-       Bising usus 5-30 kali/menit
-          Pastikan kebiasaan defekasi klien dan gaya hidup sebelumnya.
-          Auskultasi bising usus


-          Tinjau ulang pola diet dan jumlah / tipe masukan cairan.


-          Berikan makanan tinggi serat.


-          Berikan obat sesuai indikasi, contoh : pelunak feses
-          Membantu dalam pembentukan jadwal irigasi efektif

-          Kembalinya fungsi gastriintestinal mungkin terlambat oleh inflamasi intra peritonial
-          Masukan adekuat dan serat, makanan kasar memberikan bentuk dan cairan adalah faktor penting dalam menentukan konsistensi feses.
-          Makanan yang tinggi serat dapat memperlancar pencernaan sehingga tidak terjadi konstipasi.
-          Obat pelunak feses dapat melunakkan feses sehingga tidak terjadi konstipasi.
3.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan dapat dipertahankan dengan kriteria hasil:
-       kelembaban membrane mukosa
        turgor kulit baik
-       Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam
-       Tanda-tanda vital dalam batas normal : TD (systole 110-130mmHg, diastole 70-90mmHg), HR(60-100x/menit), RR (16-24x/menit), suhu (36,5-37,50C)
-          Monitor tanda-tanda vital


-          Kaji membrane mukosa, kaji tugor kulit dan pengisian kapiler.
-          Awasi masukan dan haluaran, catat warna urine/konsentrasi, berat jenis.
-          Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus, gerakan usus.
-          Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir.
-          Pertahankan penghisapan gaster/usus.



-          Kolaborasi pemberian cairan IV dan elektrolit
-          Tanda yang membantu mengidentifikasikan fluktuasi volume intravaskuler.
-          Indicator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.

-          Penurunan haluaran urin pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan.


-          Indicator kembalinya peristaltic, kesiapan untuk pemasukan per oral.

-          Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah-pecah

-          Selang NG biasanya dimasukkan pada praoperasi dan dipertahankan pada fase segera pascaoperasi  untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus, mencegah mentah.
-          Peritoneum bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit
4.
Cemas  berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan kecemasan klien berkurang dengan kriteria hasil :
-       Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat teratasi
-       Tampak rileks
-          Evaluasi tingkat ansietas, catat verbal dan non verbal pasien.

-          Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan
-          Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.
-          Anjurkan keluarga untuk menemani disamping klien
-          Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, penting pada prosedur diagnostik dan pembedahan.
-          Dapat meringankan ansietas terutama ketika pemeriksaan tersebut melibatkan pembedahan.

-          Membatasi kelemahan, menghemat energi dan meningkatkan kemampuan koping.

-          Mengurangi kecemasan klien





DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2002Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2012Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC


DOWNLOAD VERSI DOCX DI SINI


TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA

FADHIL AKMAL - Juli 21, 2016
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI

0 komentar:

Posting Komentar

loading...