;

Senin, 29 Juli 2019

LAPORAN PENDAHULUAN : GAGAL GINJAL KRONIK

Senin, 29 Juli 2019


Ginjal, Anatomi, Manusia, Manusia, Organ
2.1.Pengertian
Gagal Ginjal Kronik atau CKD adalah kegagalan fungsi ginjal untuk  mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan  manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah  (Muttaqin & Sari, 2014).
Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal tahap akhir, progresif  dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolise dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Kartikasari, 2013).
Gagal ginjal kronik adalah proses kerusakan ginjal selama  rentang waktu lebih dari tiga bulan dan dapat menimbulkan simtoma, yaitu laju filtrasi glomerular berada dibawah 60ml/men/1.73 m². (As’adi muhammad, 2012).

2.2.Anatomi dan Fisiologi
2.2.1.      Anatomi
1.      Ginjal
Ginjal (ren) manusia berjumlah sepasang, terletak di rongga perut sebelah kanan depan dan kiri depan ruas-ruas tulang belakang bagian pinggang. Ginjal kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri karena di atas ginjal kanan terdapat hati. Ginjal berbentuk seperti biji ercis dengan panjang sekitar 10 cm dan berat sekitar 200 gram. Ginjal yang dibelah secara membujur akan memperlihatkan bagian-bagian korteks yang merupakan lapisan luar. Medula (sumsum ginjal), dan pelvis (rongga ginjal). Di bagian korteks terdapat jutaan alat penyaring yang disebut nefron. Setiap nefron terdiri atas badan Malpighi dan tubulus kontortus. Badan Malpighi terdiri atas kapsula (simpai) Bowman Dan glomerulus. Glomrerulus merupakan anyaman pembuluh kapiler. Kapsula Bowman berbentuk mangkuk yang mengelilingi glomerulus.'I'ubulus kontortus terdiri atas tubulus kontortus proksimal. tubulus kontortus distal. Dan tubulus kontortus kolektivus. Di antara tubuIus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal terdapat gelung /lengkung Henle pars ascenden (naik) dan pars descenden (turun).
Penamaan beberapa bagian ginjal mengambil nama ahli yang berjasa dalam penelitian ginjal. Kapsula Bowman mengambil nama William Bowman (l816 – 1892). Seorang ahli bedah yang merupakan perintis di bidang saluran kentih yang mengidentifikasi kapsula tersebut. Lengkung Henle meugambil nama Jacob Henle (1809-1885), seorang ahli anatomi berkebangsaan Jerman yang mendeskripsikan lengkung di dalam ginjal tersebut. Glomerulus di identifikasi oleh seorang ahli mikroanatomi berkebangsaan ltalia bernama Marcerllo Malpighi (1628-1694). Ginjal merupakan alat pengeluaran sisa metabolisme dalam bentuk urine yang di dalamnya mengandung air, amoniak (NH3), ureum, asam urat dan garam mineral tertentu. Penderita diabetes miletus urine mengandung glukosa.
Ginjal terdiri dari :
a.       Lapisan luar (korteks/ kulit ginjal) yang mengandung kurang lebih 1 juta nefron. Tiap nefron terdiri atas badan malpighi (badan renalis) yang tersusun dari kapsula bowman dan glomerulus.
b.      Lapisan dalam (medula/ sumsum ginjal) yang terdiri atas tubulus kontortus yang bermuara pada tonjolan papila di ruang (pelvis renalis). Tubulus kontortus terdiri atas tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal.
2.      Nefron terdiri dari :
a.       Kapsula bowman: Mengumpulkan filtrat glomerulus
b.      Tubulus proksimal (pars desendens): Reabsorpsi dan sekresi tidak terkontrol zat-zat tertentu berlangsung disini dan Sangat permeable terhadap H2O tetapi tidak secara aktif mengeluarkan Na+ (merupakan satu-satunya segmen tubulus yang tidak melakukannya).
c.        Lengkung Henle: Membentuk gradient osmotic di medulla ginjal yang penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dengan berbagai konsentrasi.
d.      Tubulus distal (pars ascendens): Sekresi dan reabsorpsi tidak terkontrol zat-zat tertentu berlangsng disini dan Secara aktif mengangkut NaCl keluar dari lumen tubulus ke dalam cairan interstisium disekitarnya dan selalu impermeable terhadap H2O, sehingga garam keluar dari cairan tubulus tanpa secara osmotis diikuti oleh H2O.
e.       Tubulus pengumpul: Reabsorpsi H2O dalam jumlah bervariasi berlangsung disini, cairan yang meninggalkan tubulus pengumpul menjadi urin, yang kemudian masuk ke pelvis ginjal.
3.      Vaskularisasi Ginjal
Menurut Price, S.A., dkk, alih bahasa Peter, A., (1995:771) ginjal diperdarahi oleh arteri renalis yang merupakan cabang aorta abdominalis dan memasuki ginjal pada hilum, diantara pelvis renalis dan vena renalis. Karena aorta terletak di sebelah kiri garis tengah maka arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri.
Vena renalis menyalurkan darah ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebelah kanan garis tengah, sehingga vena renalis kiri kira-kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan. Arteri renalis masuk ke dalam hillus, kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk arteri arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata kemudian membentuk arteriola-arteriola interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola aferen. Arteriola aferen akan berakhir pada rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerulus.
4.      Persyarafan pada Ginjal
Menurut Price, S.A., dkk, alih bahasa Peter, A., (1995:773) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), syaraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, syaraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal“.
2.2.2.      Fisiologi Ginjal
Menurut Syaifuddin, (1995:108), fungsi ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun, mempertahankan keseimbangan cairan, mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh, mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
Tahap- tahap pembentukan urine :
a.       Filtrasi Glomerular
 Fungsi primer ginjal dicapai oleh nefron yang terdiri dari glomerulus, tubulus dan duktus koligentes. Filtrasi glomerulus dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik, tekanan osmotik koloid yang bersifat pasif. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan fisik diatas, namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler, sehingga sel-sel darah dan molekul-molekul besar seperti protein secara efektif tertahan oleh pori-pori membran filtrasi. Sedangkan air dan kristaloid (solut dan molekul-molekul yang lebih kecil) dapat tersaring dengan mudah.
Zat-zat yang difiltrasi oleh ginjal dibagi dalam tiga kelas, yakni : elektrolit, non elektrolit dan air. Beberapa jenis elektrolit yang paling penting adalah Na+, K+, Ca2+, Mg2+, bikarbonat (HCO-3), klorida (Cl), dan posfat (HPO42-). Sedangkan non elektrolit yang penting antara lain glukosa, asam amino dan metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein, urea, asam urat dan kreatinin
b.      Reabsorpsi dan Sekresi
Setelah filtrasi langkah kedua dalam pembentukan kemih adalah reabsorpsi. Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung baik melalui mekanisme transpor aktif  maupun pasif. Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya di sepanjang tubulus proksimal dengan mekanisme transpor aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan keduanya disekresi ke bagian distal. Karena filtrasi berlanjut melalui ansa henle, maka natrium dan ion penyerta direabsorpsi. Dalam tubulus distalis, penyesuaian terjadi dalam pH dan osmolalitas serta ada mekanisme pasif bagi reabsorpsi kalsium, posfat, sulfat inorganik dan protein ginjal.
Beberapa hormon berfungsi mengatur proses reabsorpsi dan sekresi solute dan air. Reabsorpsi air tergantung dari adanya hormon anti diuretik (ADH). Aldosteron mempengaruhi reabsorpsi Na+ dan sekresi K+. Peningkatan aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+ dan peningkatan sekresi K+, begitupun sebaliknya. Hormon paratiroid (PTH) mengatur reabsorpsi Ca2+ dan HPO42- disepanjang tubulus. Peingkatan PTH menyebabkan peningkatan Ca2+ dan ekskresi HPO42-, penurunan PTH mempunyai pengaruh sebaliknya.
Ginjal memainkan peranan penting dalam regulasi asam basa, terutama dalam ekskresi ion hidrogen dan produksi bikarbonat. Setelah duktus koligen mengosongkan isinya kedalam kaliks, maka urine berjalan melalui pelvis renalis dan ureter kedalam vesika urinaria.
2.3.Kalsifikasi
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD). Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.

Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
1.      Stadium I  : Penurunan cadangan ginjal
a.       Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b.      Asimptomatik
c.       Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR

2.      Stadium II : Insufisiensi ginjal
a.       Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
b.       Kadar kreatinin serum meningkat
c.       Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
a.       Ringan :40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
b.      Sedang :15% - 40% fungsi ginjal normal
c.       Kondisi berat : 2% - 20% fungsi ginjal normal

3.      Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremiaa.
a.       kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
b.      ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
c.       air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
1.        Stadium 1   : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2.        Stadium 2   : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2)
3.        Stadium 3   : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
4.         Stadium 4   : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
5.        Stadium 5   : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.

2.4.Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
a.       Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
b.      Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
c.       Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
d.      Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e.       Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubuler ginjal.
f.       Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g.      Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h.      Nefropati obstruktif                           
i.        Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal
j.        Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

2.5.Faktor Resiko
Faktor resiko penyakit gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebi8h dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga ( National Kidney Foundation, 2009 ).

2.6.Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat.

1.      Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
2.      Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik

3.      Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi.

4.      Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.
5.      Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun.

6.      Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.

2.7.Tanda dan Gejala
 Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia:
a.       Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
b.       Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin → Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
c.       Kelainan Saluran cerna
Mual, muntah, hicthcup dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
d.      Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
e.       Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
f.       Kelainan mata
g.      Kardiovaskuler : Hipertensi, Pitting edema, Edema periorbital,  Pembesaran vena leher, Friction Rub Pericardial.
h.      Kelainan kulit :
-          Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena: Toksik uremia yang kurang terdialisis, Peningkatan kadar kalium phosphor, Alergi bahan-bahan dalam proses HD.
-          Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit, Kulit mudah memar, Kulit kering dan bersisik, rambut tipis dan kasar.
i.         Neuropsikiatri
j.        Kelainan selaput serosa
k.      Neurologi : Kelemahan dan keletihan, Konfusi, Disorientasi, Kejang, Kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, Perubahan Perilaku.
l.        Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa yang disebut Sindrom Uremik
Terdapat dua kelompok gejala klinis :
1.      Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal.
2.      Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya
 Manifestasi Klinis CKD
Sistem Tubuh
Manifestasi
Biokimia
·         Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
·         Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN, kreatinin)
·         Hiperkalemia
·         Retensi atau pembuangan Natrium
·         Hipermagnesia
·         Hiperurisemia
Perkemihan& Kelamin
·         Poliuria, menuju oliguri lalu anuria
·         Nokturia, pembalikan irama diurnal
·         Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
·         Protein silinder
·         Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas
Kardiovaskular
·         Hipertensi
·         Retinopati dan enselopati hipertensif
·         Beban sirkulasi berlebihan
·         Edema
·         Gagal jantung kongestif
·         Perikarditis (friction rub)
·         Disritmia
Pernafasan
·         Pernafasan Kusmaul, dispnea
·         Edema paru
·         Pneumonitis
Hematologik
·         Anemia menyebabkan kelelahan
·         Hemolisis
·         Kecenderungan perdarahan
·         Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK, pneumonia,septikemia)
Kulit
·         Pucat, pigmentasi
·         Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan dengan kehilangan protein)
·         Pruritus
·         “kristal” uremik
·         kulit kering
·         memar
Saluran cerna




·         Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB
·         Nafas berbau amoniak
·         Rasa kecap logam, mulut kering
·         Stomatitis, parotitid
·         Gastritis, enteritis
·         Perdarahan saluran cerna
·         Diare
Metabolisme intermedier
·         Protein-intoleransi, sintesisi abnormal
·         Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun
·         Lemak-peninggian kadar trigliserida
Neuromuskular
·         Mudah lelah
·         Otot mengecil dan lemah
·         Susunan saraf pusat :
·         Penurunan ketajaman mental
·         Konsentrasi buruk
·         Apatis
·         Letargi/gelisah, insomnia
·         Kekacauan mental
·         Koma
·         Otot berkedut, asteriksis, kejang
·         Neuropati perifer :Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
·         Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
·         Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi paraplegi
Gangguan kalsium dan rangka
·         Hiperfosfatemia, hipokalsemia
·         Hiperparatiroidisme sekunder
·         Osteodistropi ginjal
·         Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
·         Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru
·         Konjungtivitis (uremik mata merah)

2.8.Pemeriksaan Penunjang
1.      Laboratorium
a.       Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
·         Ureum kreatinin.
·         Asam urat serum.

b.      Identifikasi etiologi gagal ginjal
·         Analisis urin rutin
·         Mikrobiologi urin
·         Kimia darah
·         Elektrolit
·         Imunodiagnosis

c.       Identifikasi perjalanan penyakit
·         Progresifitas penurunan fungsi ginjal
·         Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:

Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 matau
                   0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita    : 88-128 mL/menit/1,73 matau
                 0,85 - 1,23 mL/detik/m2
Hemopoesis   : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
·         Elektrolit        : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
·         Endokrin        :  PTH dan T3,T4
·         Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk   ginjal, misalnya: infark miokard.

2.      Diagnostik
a.        Etiologi CKD dan terminal
·         Foto polos abdomen.
·         USG.
·         Nefrotogram.
·         Pielografi retrograde.
·         Pielografi antegrade
·         Mictuating Cysto Urography (MCU).
b.      Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
·         RetRogram
·         USG.

2.9.Penatalaksanaan
1.      Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
a)      Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
b)      Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c)      Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d)     Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Prinsip terapi konservatif :
1.      Mencegah memburuknya  fungsi ginjal.
a.       Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
b.      Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi.
c.       Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
d.      Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
e.       Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
f.       Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
g.      Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis yang kuat.

2.      Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
a.       Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
b.      Kendalikan terapi ISK.
c.       Diet protein yang proporsional.
d.      Kendalikan hiperfosfatemia.
e.       Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
f.       Terapi hIperfosfatemia.
g.      Terapi keadaan asidosis metabolik.
h.      Kendalikan keadaan hiperglikemia.

3.      Terapi alleviative gejala asotemia
a.       Pembatasan konsumsi protein hewani.
b.      Terapi keluhan gatal-gatal.
c.       Terapi keluhan gastrointestinal.
d.      Terapi keluhan neuromuskuler.
e.       Terapi keluhan tulang dan sendi.
f.       Terapi anemia.
g.      Terapi setiap infeksi.
2.      Terapi simtomatik
a)      Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K+ (hiperkalemia ) :
1.      Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
2.      Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.

b)      Anemia
1.      Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per kg BB.
2.      Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
3.      Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
·         HCT < atau sama dengan 20 %
·         Hb  < atau sama dengan 7 mg5
·         Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia    dan high output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
·         Hemosiderosis
·         Supresi sumsum tulang
·         Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
·         Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
·         Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana transplantasi ginjal.
c)      Kelainan Kulit
1.      Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :
·         Bersifat subyektif
·         Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan lichen symply
Beberapa pilihan terapi :
·         Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
·         Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
·         Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini bisa diulang apabila diperlukan
·         Pemberian obat
·         Diphenhidramine 25-50 P.O
·         Hidroxyzine 10 mg P.O   
2.      Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan adalah tindakan dialisis.
d)     Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya : 
·         HD reguler.
·          Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
·         Operasi sub total paratiroidektomi.

e)      Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
·         Restriksi garam dapur.
·         Diuresis dan Ultrafiltrasi.
·         Obat-obat antihipertensi.
3.      Terapi pengganti
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

a)      Dialisis yang meliputi :
1.      Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Secara khusus, indikasi HD adalah:
·         Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
·         Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
-          Hiperkalemia > 17 mg/lt
-          Asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2
-          Kegagalan terapi konservatif
-          Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia, asidosis metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan atau berat atau kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin > 100 mg %
-          Kelebihan cairan
-          Mual dan muntah hebat
-          BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
-          preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
-          Sindrom kelebihan air
-          Intoksidasi obat jenis barbiturat
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/ neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi berat, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% atau > 40 mmol per liter dan kreatinin > 10 mg% atau > 90 mmol perliter. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

2.      Dialisis Peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
b)      Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
·         Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
·         Kualitas hidup normal kembali
·         Masa hidup (survival rate) lebih lama
·         Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
·         Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

2.10.   Komplikasi
Komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup :
a.       Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet yang berlebih
b.      Perikarditis, efusi pericardial, dan temponade jantung akibat retensi, produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c.       Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-angiotensin aldosteron
d.      Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisa
e.       Penyakit tulang serta kalsifikasi metastasik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar aluminium
f.       Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif eritropoetin, suplemen besi, agen pengikat fosfat dan sulemen kalsium   

2.11.   Cara Pencegahan
Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal KronisUntuk dapat menghindari dan mengurangi resiko gagal ginjal kronis ini, perlu menerapkan beberapa tips berikut ini :
a.      Jika pengkonsumsi minuman beralkohol, minumah dengan tidak berlebihan. Namun alangkah lebih baik jika anda menghindari minuman tersebut
b.    Jika menggunakan obat tanpa resep yang dijual bebas, ikutilah petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan. Penggunaan obat dengan dosis yang terlalu tinggi dan berlebihan akan dapat merusak ginjal. Jika mempunyai sejarah keturunan berpenyakit ginjal, konsultasikan pada dokter tentang obat apa yang sesuai.
c.     Jagalah berat badan dengan selalu berolahraga secara teratur
d.     Jangan merokok dan jangan pernah berniat untuk mencoba merokok
e.    Selalu kontrol kondisi medis dengan bantuan dokter ahli untuk mengetahui kemungkinan peningkatan resiko gagal ginjal agar segera diatasi.

2.12.   Diit CKD
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami pasien PGK. Penelitian keadaan gizi pasien PGK dengan Tes Kliren Kreatinin (TKK) = 25 ml/mt yng diberikan terapi konservatif di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSCM, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi kurang. Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah.
Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.
Penatalaksanaan Diet pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik pre dialisis stadium IV dengan TKK < 25 ml/mt pada dasarnya mencoba memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dengan cara mengurang beban kerja nephron dan menurunkan kadar ureum darah.
Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah sebagai berikut:
1.      Syarat Dalam Menyusun Diet
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
a.       Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
b.      Protein untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai, protein dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut Diet Rendah Protein. Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai biologi tinggi/hewani hingga = 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50 %. Saat ini protein hewani dapat dapat disubstitusi dengan protein nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk variasi menu.
c.       Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak jenuh.
d.      Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL ± 500 ml.
e.       Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan cairan dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-3000 mg Na/hari.
f.       Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
g.      Fosfor yang dianjurkan = 10 mg/kg BB/hari
h.      Kalsium 1400-1600 mg/hari
2.      Bahan Makanan yang Dianjurkan
a.       Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti, kwethiau, kentang, tepung- tepungan, madu, sirup, permen, dan gula.
b.      Sumber Protein Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam.
c.       Bahan Makanan Pengganti Protein Hewani
d.      Hasil olahan kacang kedele yaitu tempe, tahu, susu kacang kedele, dapat dipakai sebagai pengganti protein hewani untuk pasien yang menyukai sebagai variasi menu atau untuk pasien vegetarian asalkan kebutuhan protein tetap diperhitungkan. Beberapa kebaikan dan kelemahan sumber protein nabati untuk pasien penyakit ginjal kronik akan dibahas.
e.       Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedele, margarine rendah garam, mentega.
f.       Sumber Vitamin dan Mineral
g.      Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak menjadi stup buah/coktail buah.

3.      Bahan Makanan yang Dihindari

Sumber Vitamin dan Mineral. Hindari sayur dan buah tinggi kalium jika pasien mengalami hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah bayam, gambas, daun singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian, dan nangka.
Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema dan asites. Bahan makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap rasa/kaldu kering, makanan yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan.

Asuhan Keperawatan
2.13.1.  Pengkajian Keperawatan
1.       Aktivitas/ istirahat
Gejala : pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat menolong diri sendiri, pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tanda : aktivitas dibantu, pasien terlihat sering menguap
2.      Sirkulasi
Gejala : hipertenti, palpitasi, nyeri dada, distritmia, anemia
Tanda : kenaikan TD, konjungtiva pucat
3.      Ekstremitas
Gejala ; Kulit pucat, keabu-abuan dan kering bersisik serta pruritus, kuku tipis dan mudah pecah, rambut kering dan mudah putus
4.      Integeritas Ego
Gejala : riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euporia, marah, faktor stress multiple
Tanda : letupan suasana hati, penyempitan kontinue perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang, peningkatan pola bicara
5.      Eliminasi
Gejala : Sebelum sakit klien biasa buang air besar dua kali dalam sehari, konsistensinya lembek, warna feses kuning. Sedangkan untuk buang air kecilnya lebih dari lima kali dalam sehari, warnanya kuning bening.
6.      Makanan/ cairan
Gejala : porsi makan habis, minum sedikit
7.      Neurosensori
Gejala : Tidak ada keluhan sakit kepala, tingkat kesadaran compos mentis, nilai GCS E: 4, M: 6, V: 5 total 15, tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK, pemeriksaan reflek fisiologis normal dan reflek patologis tidak.
8.      Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala :  nyeri pada bagian pinggang, nyeri hilang timbul, nyeri abdomen
9.      Pernafasan
Gejala : Jalan nafas klien bersih, klien tidak sesak, tidak menggunakan otot bantu nafas, frekuensi nafas klien 16 x/menit, irama teratur, nafas dalam, tidak ada batuk, tidak ada seputum, suara nafas vesikular, tidak ada nyeri saat bernafas.
10.  Keamanan
Gejala : gangguan koordinasi, cara jalan
2.13.2.  Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangan cairan mempengaruhi volume sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik
2.      Resiko tinggi terhadap cedera b/d penekanan produksi / sekresi eritropoetin; penurunan produksi dan SDM hidupnya; gangguan faktor pembekuan; peningkatan kerapuhan kapiler
3.      Perubahan proses fikir b/d perubahan fisiologis akumulasi toksin, asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit d/d disorietasi terhadap orang, tempat, waktu
4.      Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit b/d akumulasi toksin dalam kulit
5.      Resiko tinggi terhadap perubahan membran mukosa oral b/d kurang / penurunan salivasi, pembatasan cairan
6.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan / mengingat salah interpretasi informasi d/d pertanyaan / permintaan informasi
7.      Ketidakpatuhan b/d kompleksitas biaya, efek samping terapi

2.13.3.  Rencana Keperawatan
No
Diagnosa keperawatan
Tujuan (NOC)
Intervensi (NIC)
1
Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangan cairan mempengaruhi volume sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik
Mempertahankan curah jantung dengan kriteria hasil:
o   TD dan frekuensi jantung dalam batas normal
o    Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
o   Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer / kongesti vaskular dan keluhan dispnea
o   Kaji adanya / derajat hipertensi awasi TD; perhatikan perubahan postural
o   Evaluasi bunyi jantung, TD, nadi perifer, pengisian kapiler kongesti vaskular, suhu dan sensori / mental
o   Siapkan dialisis
2
Resiko tinggi terhadap cedera b/d penekanan produksi / sekresi eritropoetin; penurunan produksi dan SDM hidupnya; gangguan faktor pembekuan; peningkatan kerapuhan kapiler
Mempertahankan / menunjukkan perbaikan nilai laboratorium dengan kriteria hasil:
o   Tak mengalami tanda / gejala perdarahan
o   Perhatikan keluhan penigkatan kelelahan, kelemahan. Observasi takikardia, kulit / membran mukosa pucat, dispnea dan nyeri dada
o   Evaluasi respons terhadap aktivitas, kemampuan untuk melakukan tugas
o   Batasi contoh vaskular, kombinasikan tes laboratorium bila mungkin
o   Observasi perdarahan terus meerus dari tempat penusukan
o   Kolaborasi dalam pemberian darah segar, SDM kemasan sesuai indikasi
3
Perubahan proses fikir b/d perubahan fisiologis akumulasi toksin, asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit d/d disorietasi terhadap orang, tempat, waktu
Meningkatkan tingkat mental biasanya dengan kriteria hasil:
o   Dapat mengidentifikasi cara untuk mengkompen sasi gangguan
o   Kaji luasnya gangguan kemampuan berpikir, memori dan orietasi
o   Berikan lingkungan tenang dan izinkan menggunakan televisi, radio dan kunjungan
o   Orientasikan kembali terhadap lingkungan, orang dan sebagainya
o   Komunikasikan informasi / instruksi dalam kalimat pendek dan sederhana tanyakan pertanyaan ya / tidak
o   Tingkatkan istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur
o   Siapkan untuk dialisis
4
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit b/d akumulasi toksin dalam kulit
Mempertahankan kulit utuh dengan kriteria hasil:
o   Dapat menunjukkan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan / cedera kulit
o   Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskular, perhatikan kemerahan, ekskoriasi, observasi terhadap ekimosis, purpura
o   Ubah posisi dengan sering; gerakan pasien dengan perlahan; beri bantalan pada tonjolan tulang dengan kulit domba, pelindung siku / tumit
o   Berikan perawatan kulit, batasi penggunaan sabun
o   Pertahankan linen kering, bebas keriput
o   Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan (dari pada garukan) pada area pruritus
o   Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar
5
Resiko tinggi terhadap perubahan membran mukosa oral b/d kurang / penurunan salivasi, pembatasan cairan










Mempertahankan integritas membran mukosa dengan kriteria hasil:
o   Dapat mengidentifi kasi / melakukan intervensi khusus untuk meningkatkan kesehatan mukosa oral
o   Inspeksi rongga mulut, perhatikan kelembaban, karakter saliva, adanya inflamasi, ulserasi, leukoplakia
o   Berikan cairan sepanjang 24 jam dalam batas yang ditentukan
o   Berikan perawatan mulut sering / cuci dengan larutan asam asetik 25%; berikan permen karet, permen keras, minta pernafasan antara makan
o   Anjurkan higiene yang baik setelah makan dan pada saat tidur
o   Anjurkan pasien menghentikan merokok dan menghindari produk / pencuci mulut lemon / gliserin yang mengandung alkohol
o   Berikan obat-obatan sesuai indikasi, mis: antihistamin
6
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan / mengingat salah interpretasi informasi d/d pertanyaan / permintaan informasi
Kebutuhan akan pengetahuan terpenuhi dengan kriteria hasil:
o   Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan pengobatan
o   Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan untuk tindakan
o   Kaji ulang proses penyakit / prognosis dan kemungkinan yang akan dialami
o   Diskusikan masalah nutrisi lain, contoh: pengaturan masukan protein sesuai dengan tingkat fungsi ginjal
o   Diskusikan terapi obat, termasuk tambahan kalsium dan ikatan fosfat
o   Tekankan pentingnya membaca semua label produk dan tidak meminum obat tanpa menanyakan pada pemberi perawatan
o   Waspadakan tentang terpajan pada suhu eksternal ekstrem contoh bantalan panas / salju
o   Buat program latihan rutin dalam kemampuan individu, menyelingi periode istirahat dengan aktivitas
7
Ketidakpatuhan b/d kompleksitas biaya, efek samping terapi
Menyatakan pengetahuan akurat tentang penyakit dan pemahaman program terapi dengan kriteria hasil:
o   Berpartisipasi dalam membuat tujuan dan rencana pengobatan
o   Membuat pilihan pada tingkat kesiapan berdasarkan informasi yang akurat
o   Yakinkan persepsi / pemahaman pasien / orang terdekat terhadap situasi dan konsekuensi perilaku
o   Dengarkan / mendengarkan dengan aktif pada keluhan / pernyataan pasien
o   Identifikasi perilaku yang mengindikasikan kegagalan untuk mengikuti program pengobatan
o   Kaji tingkat ansietas / kemampuan kontrol, perasaan tak berdaya
o   Buat sistem pengawasan diri, contoh: TD, penimbangan, memberikan salinan laporan laboratorium
o   Berikan umpan balik positif untuk upaya / keterlibatan dalam terapi

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E,  Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Lumenta, S. (2005). Komplikasi Hemodialisis. Pelatihan Perawat Hemodialisis RS PGI Cikini. Jakarta.
Marthalena Siahaan (2009). Pengaruh  Discharge Planning Yang Dilakukan Oleh Perawat Terhadap Kesiapan Pasien Pasca Bedah Akut Abdomen Menghadapi Pemulangan di RSUP H. Adam Malik Medan. http://respository.USU.ac.id. Tanggal akses 26/07/2017.
Muhammad, A. (2012). Pengertian Gagal Ginjal Kronik. Banguntapan, Jogjakarta. Ayu, 2010
Muhsin. 2009. Gagal Ginjal Kronik. http://www. PPPI. Depkes.go.id. diakses pada tanggal 15 Juli 2017.
Muttaqin Arif, Sari Kumala. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Ninis Nuriana (2014). Gambaran Faktor Penyebab Pasien Tidak Patuh Dalam Menjalani Terapi Hemodialisis di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. Karya Tulis Ilmiah, Surabaya. Tidak dipublikasikan.
Ninis Nuriana (2014). Gambaran Faktor  Penyebab Pasien Tidak Patuh Dalam Menjalani Terapi Hemodialisis di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. Karya Tulis Ilmiah, Surabaya. Tidak dipublikasikan.
Nursalam dan Fransiska (2009). Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika
Pertemuan Ilmiah Tahunan Nasional PPGII.(2010). Perawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis Secara Komprehensif. Semarang. 
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Setyawan, (2005). Asuhan Keperawatan Pada Penderita Hemodialsis dan Pasca Hemodialsis..Surabaya.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan  Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Soewanto. (2006). Infeksi pada Penderita Hemodialisis, Majalah Ilmu Penyakit Dalam, Vol.18 no 1 FK Unair-RSUD Dr.Soetomo, Surabaya.
Suharyanto, Toto dan Abdul Madjid (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Medika.
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI




TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA

FADHIL AKMAL - Juli 29, 2019
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI

0 komentar:

Posting Komentar

loading...