2.1.Pengertian
Gagal Ginjal Kronik atau CKD adalah
kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur
ginjal yang progresif dengan manifestasi
penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin & Sari, 2014).
Gagal ginjal kronik adalah penyakit
ginjal tahap akhir, progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolise dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Kartikasari,
2013).
Gagal ginjal kronik adalah proses
kerusakan ginjal selama rentang waktu
lebih dari tiga bulan dan dapat menimbulkan simtoma, yaitu laju filtrasi
glomerular berada dibawah 60ml/men/1.73 m². (As’adi muhammad, 2012).
2.2.Anatomi dan Fisiologi
2.2.1.
Anatomi
1. Ginjal
Ginjal (ren) manusia berjumlah
sepasang, terletak di rongga perut sebelah kanan depan dan kiri depan ruas-ruas
tulang belakang bagian pinggang. Ginjal kanan lebih rendah dari pada ginjal
kiri karena di atas ginjal kanan terdapat hati. Ginjal berbentuk seperti biji
ercis dengan panjang sekitar 10 cm dan berat sekitar 200 gram. Ginjal yang
dibelah secara membujur akan memperlihatkan bagian-bagian korteks yang
merupakan lapisan luar. Medula (sumsum ginjal), dan pelvis (rongga ginjal). Di
bagian korteks terdapat jutaan alat penyaring yang disebut nefron. Setiap
nefron terdiri atas badan Malpighi dan tubulus kontortus. Badan Malpighi
terdiri atas kapsula (simpai) Bowman Dan glomerulus. Glomrerulus merupakan
anyaman pembuluh kapiler. Kapsula Bowman berbentuk mangkuk yang mengelilingi
glomerulus.'I'ubulus kontortus terdiri atas tubulus kontortus proksimal.
tubulus kontortus distal. Dan tubulus kontortus kolektivus. Di antara tubuIus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal terdapat gelung /lengkung
Henle pars ascenden (naik) dan pars descenden (turun).
Penamaan beberapa bagian ginjal
mengambil nama ahli yang berjasa dalam penelitian ginjal. Kapsula Bowman
mengambil nama William Bowman (l816 – 1892). Seorang ahli bedah yang merupakan
perintis di bidang saluran kentih yang mengidentifikasi kapsula tersebut.
Lengkung Henle meugambil nama Jacob Henle (1809-1885), seorang ahli anatomi
berkebangsaan Jerman yang mendeskripsikan lengkung di dalam ginjal tersebut.
Glomerulus di identifikasi oleh seorang ahli mikroanatomi berkebangsaan ltalia
bernama Marcerllo Malpighi (1628-1694). Ginjal merupakan alat pengeluaran sisa
metabolisme dalam bentuk urine yang di dalamnya mengandung air, amoniak (NH3),
ureum, asam urat dan garam mineral tertentu. Penderita diabetes miletus urine
mengandung glukosa.
Ginjal terdiri dari :
a.
Lapisan luar
(korteks/ kulit ginjal) yang mengandung kurang lebih 1 juta nefron. Tiap nefron
terdiri atas badan malpighi (badan renalis) yang tersusun dari kapsula bowman
dan glomerulus.
b.
Lapisan dalam
(medula/ sumsum ginjal) yang terdiri atas tubulus kontortus yang bermuara pada
tonjolan papila di ruang (pelvis renalis). Tubulus kontortus terdiri atas
tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal.
2.
Nefron terdiri dari :
a.
Kapsula bowman: Mengumpulkan filtrat
glomerulus
b.
Tubulus proksimal (pars desendens):
Reabsorpsi dan sekresi tidak terkontrol zat-zat tertentu berlangsung disini dan
Sangat permeable terhadap H2O tetapi tidak secara aktif mengeluarkan Na+ (merupakan
satu-satunya segmen tubulus yang tidak melakukannya).
c.
Lengkung Henle: Membentuk
gradient osmotic di medulla ginjal yang penting dalam kemampuan ginjal
menghasilkan urin dengan berbagai konsentrasi.
d.
Tubulus distal (pars ascendens):
Sekresi dan reabsorpsi tidak terkontrol zat-zat tertentu berlangsng disini dan
Secara aktif mengangkut NaCl keluar dari lumen tubulus ke dalam cairan
interstisium disekitarnya dan selalu impermeable terhadap H2O, sehingga garam
keluar dari cairan tubulus tanpa secara osmotis diikuti oleh H2O.
e. Tubulus
pengumpul: Reabsorpsi H2O dalam jumlah bervariasi berlangsung disini, cairan
yang meninggalkan tubulus pengumpul menjadi urin, yang kemudian masuk ke pelvis
ginjal.
3.
Vaskularisasi Ginjal
Menurut Price, S.A., dkk, alih bahasa Peter, A., (1995:771)
ginjal diperdarahi oleh arteri renalis yang merupakan cabang aorta abdominalis
dan memasuki ginjal pada hilum, diantara pelvis renalis dan vena renalis.
Karena aorta terletak di sebelah kiri garis tengah maka arteri renalis kanan
lebih panjang dari arteri renalis kiri.
Vena renalis menyalurkan darah ke dalam vena kava inferior
yang terletak di sebelah kanan garis tengah, sehingga vena renalis kiri
kira-kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan. Arteri renalis masuk
ke dalam hillus, kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan
diantara piramid, selanjutnya membentuk arteri arkuata yang melengkung
melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata kemudian membentuk
arteriola-arteriola interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks.
Arteriola interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola aferen. Arteriola
aferen akan berakhir pada rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerulus.
4.
Persyarafan pada Ginjal
Menurut Price, S.A., dkk, alih bahasa Peter, A., (1995:773)
“Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), syaraf ini
berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, syaraf ini
berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal“.
2.2.2. Fisiologi Ginjal
Menurut Syaifuddin, (1995:108), fungsi ginjal yaitu mengeluarkan
zat-zat toksik atau racun, mempertahankan keseimbangan cairan, mempertahankan
keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, mempertahankan keseimbangan
garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh, mengeluarkan sisa metabolisme hasil
akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
Tahap- tahap pembentukan urine :
a.
Filtrasi Glomerular
Fungsi primer ginjal dicapai oleh nefron yang terdiri
dari glomerulus, tubulus dan duktus koligentes. Filtrasi glomerulus dipengaruhi
oleh tekanan hidrostatik, tekanan osmotik koloid yang bersifat pasif. Filtrasi
glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan fisik diatas, namun
juga oleh permeabilitas dinding kapiler, sehingga sel-sel darah dan
molekul-molekul besar seperti protein secara efektif tertahan oleh pori-pori
membran filtrasi. Sedangkan air dan kristaloid (solut dan molekul-molekul yang
lebih kecil) dapat tersaring dengan mudah.
Zat-zat yang difiltrasi oleh ginjal dibagi dalam tiga
kelas, yakni : elektrolit, non elektrolit dan air. Beberapa jenis elektrolit
yang paling penting adalah Na+, K+, Ca2+, Mg2+,
bikarbonat (HCO-3), klorida (Cl–), dan posfat (HPO42-).
Sedangkan non elektrolit yang penting antara lain glukosa, asam amino dan
metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein, urea,
asam urat dan kreatinin
b.
Reabsorpsi dan Sekresi
Setelah filtrasi langkah kedua dalam pembentukan kemih
adalah reabsorpsi. Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung baik melalui
mekanisme transpor aktif maupun pasif. Glukosa dan asam amino
direabsorpsi seluruhnya di sepanjang tubulus proksimal dengan mekanisme
transpor aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara
aktif dan keduanya disekresi ke bagian distal. Karena filtrasi berlanjut
melalui ansa henle, maka natrium dan ion penyerta direabsorpsi. Dalam tubulus
distalis, penyesuaian terjadi dalam pH dan osmolalitas serta ada mekanisme
pasif bagi reabsorpsi kalsium, posfat, sulfat inorganik dan protein ginjal.
Beberapa hormon berfungsi mengatur proses reabsorpsi dan
sekresi solute dan air. Reabsorpsi air tergantung dari adanya hormon anti
diuretik (ADH). Aldosteron mempengaruhi reabsorpsi Na+ dan sekresi K+.
Peningkatan aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+ dan
peningkatan sekresi K+, begitupun sebaliknya. Hormon paratiroid
(PTH) mengatur reabsorpsi Ca2+ dan HPO42-
disepanjang tubulus. Peingkatan PTH menyebabkan peningkatan Ca2+ dan
ekskresi HPO42-, penurunan PTH mempunyai pengaruh
sebaliknya.
Ginjal memainkan peranan penting dalam regulasi asam basa,
terutama dalam ekskresi ion hidrogen dan produksi bikarbonat. Setelah duktus
koligen mengosongkan isinya kedalam kaliks, maka urine berjalan melalui pelvis
renalis dan ureter kedalam vesika urinaria.
2.3.Kalsifikasi
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic
Kidney Disease (CKD). Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic
renal failure (CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka
untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi
5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage
awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage)
menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1
sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum
ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal
stage bila menggunakan istilah CRF.
Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure
(CRF) dibagi 3 stadium :
1. Stadium
I : Penurunan cadangan ginjal
a.
Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b.
Asimptomatik
c.
Tes beban kerja pada ginjal:
pemekatan kemih, tes GFR
2.
Stadium II : Insufisiensi ginjal
a.
Kadar BUN meningkat (tergantung pada
kadar protein dalam diet)
b.
Kadar kreatinin serum
meningkat
c.
Nokturia dan poliuri (karena
kegagalan pemekatan)
Ada 3
derajat insufisiensi ginjal:
a.
Ringan :40% - 80% fungsi ginjal
dalam keadaan normal
b.
Sedang :15% - 40% fungsi ginjal
normal
c.
Kondisi berat : 2% - 20% fungsi
ginjal normal
3.
Stadium III: gagal ginjal stadium
akhir atau uremiaa.
a.
kadar ureum dan kreatinin sangat
meningkat
b.
ginjal sudah tidak dapat menjaga
homeostasis cairan dan elektrolit
c.
air kemih/ urin isoosmotis
dengan plasma, dengan BJ 1,010
KDOQI (Kidney
Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian CKD
berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus) :
1.
Stadium 1 :
kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih
normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2.
Stadium 2 :
Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -89
mL/menit/1,73 m2)
3.
Stadium 3 :
kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
4.
Stadium 4 :
kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
5.
Stadium 5 :
kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.
2.4.Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam
penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim
ginjal difus dan bilateral.
a. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
b. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
c. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus
eritematosus sistemik (SLE), poli
arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
f. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h. Nefropati obstruktif
i.
Sal. Kemih
bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal
j.
Sal. Kemih
bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada
leher kandung kemih dan uretra.
2.5.Faktor Resiko
Faktor resiko penyakit
gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi,
obesitas atau perokok, berumur lebi8h dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga ( National Kidney Foundation, 2009 ).
2.6.Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron
(termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik
disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, akan semakin berat.
1. Gangguan
Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat
dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan
klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat
dideteksi dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens
kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli)
klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain
itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum
merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena substansi ini
diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit
renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan
luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
2. Retensi
Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal
yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak
terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga
dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan kerja sama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk
kwehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah
dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi
asidosis metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi
natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain
juga terjadi.
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia
berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.
5. Ketidakseimbangan
Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat
tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka
yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal,
terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum
kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada
tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D
(1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun.
6. Penyakit
Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan
kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.
2.7.Tanda dan Gejala
a.
Retensi toksik uremia → hemolisis
sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup
eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan
jumlah retikulosit normal.
b.
Defisiensi hormone
eritropoetin
Ginjal
sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin
→ Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap
proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
c.
Kelainan Saluran cerna
Mual,
muntah, hicthcup dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) →
iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
d.
Stomatitis
uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak
mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
e.
Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
f.
Kelainan mata
g.
Kardiovaskuler
: Hipertensi, Pitting edema, Edema
periorbital, Pembesaran
vena leher, Friction Rub
Pericardial.
h.
Kelainan kulit :
-
Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena: Toksik uremia yang kurang terdialisis, Peningkatan kadar kalium phosphor, Alergi bahan-bahan dalam proses HD.
-
Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit, Kulit mudah memar, Kulit kering
dan bersisik, rambut
tipis dan kasar.
i.
Neuropsikiatri
j.
Kelainan selaput serosa
k.
Neurologi : Kelemahan dan keletihan,
Konfusi, Disorientasi, Kejang, Kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak
kaki, Perubahan Perilaku.
l.
Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal yang
serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian perubahan
tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-10%
dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa yang
disebut Sindrom Uremik
Terdapat dua kelompok gejala klinis :
1.
Gangguan fungsi
pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan dan elektrolit,
ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit lainnya,
serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal.
2.
Gangguan
kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya
Manifestasi
Klinis CKD
Sistem Tubuh
|
Manifestasi
|
Biokimia
|
·
Asidosis
Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
·
Azotemia
(penurunan GFR, peningkatan BUN, kreatinin)
·
Hiperkalemia
·
Retensi atau pembuangan Natrium
·
Hipermagnesia
·
Hiperurisemia
|
Perkemihan& Kelamin
|
·
Poliuria, menuju oliguri lalu
anuria
·
Nokturia, pembalikan irama diurnal
·
Berat jenis
kemih tetap sebesar 1,010
·
Protein silinder
·
Hilangnya libido, amenore,
impotensi dan sterilitas
|
Kardiovaskular
|
·
Hipertensi
·
Retinopati dan enselopati
hipertensif
·
Beban sirkulasi berlebihan
·
Edema
·
Gagal jantung kongestif
·
Perikarditis (friction rub)
·
Disritmia
|
Pernafasan
|
·
Pernafasan Kusmaul, dispnea
·
Edema paru
·
Pneumonitis
|
Hematologik
|
·
Anemia menyebabkan kelelahan
·
Hemolisis
·
Kecenderungan perdarahan
·
Menurunnya resistensi terhadap
infeksi (ISK, pneumonia,septikemia)
|
Kulit
|
·
Pucat, pigmentasi
·
Perubahan rambut dan kuku (kuku
mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan dengan
kehilangan protein)
·
Pruritus
·
“kristal” uremik
·
kulit kering
·
memar
|
Saluran cerna
|
·
Anoreksia,
mual muntah menyebabkan penurunan BB
·
Nafas berbau amoniak
·
Rasa kecap logam, mulut kering
·
Stomatitis, parotitid
·
Gastritis, enteritis
·
Perdarahan saluran cerna
·
Diare
|
Metabolisme intermedier
|
·
Protein-intoleransi, sintesisi
abnormal
·
Karbohidrat-hiperglikemia,
kebutuhan insulin menurun
·
Lemak-peninggian kadar
trigliserida
|
Neuromuskular
|
·
Mudah lelah
·
Otot mengecil dan lemah
·
Susunan saraf pusat :
·
Penurunan ketajaman mental
·
Konsentrasi buruk
·
Apatis
·
Letargi/gelisah, insomnia
·
Kekacauan mental
·
Koma
·
Otot berkedut, asteriksis, kejang
·
Neuropati perifer :Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
·
Perubahan sensorik pada
ekstremitas – parestesi
·
Perubahan motorik – foot drop yang
berlanjut menjadi paraplegi
|
Gangguan kalsium dan rangka
|
·
Hiperfosfatemia, hipokalsemia
·
Hiperparatiroidisme sekunder
·
Osteodistropi ginjal
·
Fraktur patologik (demineralisasi
tulang)
·
Deposit garam kalsium pada
jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru
·
Konjungtivitis (uremik mata merah)
|
2.8.Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan
penurunan fungsi ginjal
·
Ureum kreatinin.
·
Asam urat serum.
b.
Identifikasi etiologi gagal ginjal
·
Analisis urin rutin
·
Mikrobiologi urin
·
Kimia darah
·
Elektrolit
·
Imunodiagnosis
c.
Identifikasi perjalanan penyakit
·
Progresifitas penurunan fungsi ginjal
·
Ureum
kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
GFR / LFG dapat dihitung dengan
formula Cockcroft-Gault:
Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau
0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau
0,85 - 1,23 mL/detik/m2
Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen,
factor pembekuan
·
Elektrolit
: Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
·
Endokrin
: PTH dan T3,T4
·
Pemeriksaan
lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk ginjal,
misalnya: infark miokard.
2.
Diagnostik
a.
Etiologi
CKD dan terminal
·
Foto polos
abdomen.
·
USG.
·
Nefrotogram.
·
Pielografi
retrograde.
·
Pielografi
antegrade
·
Mictuating
Cysto Urography (MCU).
b.
Diagnosis
pemburuk fungsi ginjal
·
RetRogram
·
USG.
2.9.Penatalaksanaan
1.
Terapi
Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal
Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
a)
Mencegah memburuknya
fungsi ginjal secara profresi.
b)
Meringankan
keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c)
Mempertahankan
dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d)
Memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
Prinsip terapi konservatif :
1.
Mencegah
memburuknya fungsi ginjal.
a.
Hati-hati dalam
pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
b.
Hindari keadaan
yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi.
c.
Hindari
gangguan keseimbangan elektrolit.
d.
Hindari
pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
e.
Hindari proses
kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
f.
Hindari
instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
g.
Hindari
pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis yang kuat.
2.
Pendekatan
terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
a.
Kendalikan
hipertensi sistemik dan intraglomerular.
b.
Kendalikan
terapi ISK.
c.
Diet protein
yang proporsional.
d.
Kendalikan
hiperfosfatemia.
e.
Terapi
hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
f.
Terapi
hIperfosfatemia.
g.
Terapi keadaan
asidosis metabolik.
h.
Kendalikan
keadaan hiperglikemia.
3.
Terapi
alleviative gejala asotemia
a.
Pembatasan
konsumsi protein hewani.
b.
Terapi keluhan
gatal-gatal.
c.
Terapi keluhan
gastrointestinal.
d.
Terapi keluhan
neuromuskuler.
e.
Terapi keluhan
tulang dan sendi.
f.
Terapi anemia.
g.
Terapi setiap
infeksi.
2.
Terapi
simtomatik
a)
Asidosis
metabolik
Jika terjadi
harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K+ (hiperkalemia
) :
1.
Suplemen alkali
dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
2.
Terapi alkali
dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35 atau serum
bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
b)
Anemia
1.
Anemia
Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon
eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi dengan
pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U
per kg BB.
2. Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang
toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
3.
Anemia
Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan
kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang
mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif
,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
·
HCT < atau
sama dengan 20 %
·
Hb <
atau sama dengan 7 mg5
·
Klien dengan
keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia dan high output
heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
·
Hemosiderosis
·
Supresi sumsum
tulang
·
Bahaya
overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
·
Bahaya infeksi
hepatitis virus dan CMV
·
Pada Human
Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana transplantasi ginjal.
c)
Kelainan Kulit
1.
Pruritus
(uremic itching)
Keluhan gatal
ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat pada klien yang
mengalami HD.
Keluhan :
·
Bersifat
subyektif
·
Bersifat
obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan lichen symply
Beberapa
pilihan terapi :
·
Mengendalikan
hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
·
Terapi lokal :
topikal emmolient ( tripel lanolin )
·
Fototerapi
dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini bisa diulang apabila
diperlukan
·
Pemberian obat
·
Diphenhidramine
25-50 P.O
·
Hidroxyzine 10
mg P.O
2.
Easy Bruishing
Kecenderungan
perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga retensi toksin
asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan adalah tindakan
dialisis.
d)
Kelainan
Neuromuskular
Terapi pilihannya :
·
HD reguler.
·
Obat-obatan
: Diasepam, sedatif.
·
Operasi sub
total paratiroidektomi.
e)
Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi,
tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
·
Restriksi garam
dapur.
·
Diuresis dan
Ultrafiltrasi.
·
Obat-obat
antihipertensi.
3.
Terapi
pengganti
Terapi
pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a)
Dialisis yang
meliputi :
1.
Hemodialisa
Tindakan
terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Secara
khusus, indikasi HD adalah:
·
Pasien yang memerlukan hemodialisa
adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
·
Pasien-pasien
tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
-
Hiperkalemia > 17 mg/lt
-
Asidosis metabolik dengan pH darah
< 7.2
-
Kegagalan terapi konservatif
-
Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia, asidosis metabolik berat,
hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan atau berat atau
kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin > 100 mg %
-
Kelebihan cairan
-
Mual dan muntah hebat
-
BUN > 100
mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
-
preparat (gagal
ginjal dengan kasus bedah )
-
Sindrom
kelebihan air
-
Intoksidasi obat
jenis barbiturat
Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa
yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/ neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi berat,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% atau > 40 mmol per liter dan kreatinin > 10
mg% atau > 90 mmol perliter. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5
dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
Menurut
konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua
pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari
10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit
walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga
disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut
seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik
diabetik.
Hemodialisis
di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di
banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen
darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
2. Dialisis
Peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri
dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua
(umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila
dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,
pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
b)
Transplantasi
ginjal atau cangkok ginjal.
Transplantasi
ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
·
Cangkok ginjal (kidney transplant)
dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
·
Kualitas hidup normal kembali
·
Masa hidup (survival rate)
lebih lama
·
Komplikasi (biasanya dapat
diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
·
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
2.10. Komplikasi
Komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang
memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup :
a.
Hiperkalemia akibat penurunan
ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet yang berlebih
b.
Perikarditis, efusi
pericardial, dan temponade jantung akibat retensi, produk sampah uremik dan
dialysis yang tidak adekuat
c.
Hipertensi akibat retensi
cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-angiotensin aldosteron
d.
Anemia akibat penurunan
eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan
gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisa
e.
Penyakit tulang serta
kalsifikasi metastasik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar aluminium
f.
Komplikasi dapat dicegah atau
dihambat dengan pemberian antihipertensif eritropoetin, suplemen besi, agen
pengikat fosfat dan sulemen kalsium
2.11. Cara Pencegahan
Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronis. Untuk dapat menghindari dan mengurangi resiko gagal
ginjal kronis ini, perlu menerapkan beberapa tips berikut ini :
a. Jika pengkonsumsi minuman beralkohol, minumah dengan
tidak berlebihan. Namun alangkah lebih baik jika anda menghindari minuman
tersebut
b. Jika menggunakan
obat tanpa resep yang dijual bebas, ikutilah petunjuk penggunaan yang tertera
pada kemasan. Penggunaan obat dengan dosis yang terlalu tinggi dan berlebihan
akan dapat merusak ginjal. Jika mempunyai sejarah keturunan berpenyakit ginjal,
konsultasikan pada dokter tentang obat apa yang sesuai.
c. Jagalah berat badan dengan selalu berolahraga secara
teratur
d. Jangan merokok dan jangan pernah berniat untuk mencoba
merokok
e. Selalu kontrol kondisi medis dengan bantuan dokter
ahli untuk mengetahui kemungkinan peningkatan resiko gagal ginjal agar segera
diatasi.
2.12. Diit CKD
Penyakit
Ginjal Kronik (PGK) dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium I, II, III,
dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat
tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre
dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet
dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara
perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang
masih banyak dialami pasien PGK. Penelitian keadaan gizi pasien PGK dengan Tes
Kliren Kreatinin (TKK) = 25 ml/mt yng diberikan terapi konservatif di
Poliklinik Ginjal Hipertensi RSCM, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status
gizi kurang. Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang
kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah.
Untuk
mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui
monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim
kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi
yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care)
betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal,
pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit,
yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.
Penatalaksanaan
Diet pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik pre dialisis stadium IV dengan TKK <
25 ml/mt pada dasarnya mencoba memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih
lanjut dengan cara mengurang beban kerja nephron dan menurunkan kadar ureum
darah.
Standar
diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah
sebagai berikut:
1. Syarat
Dalam Menyusun Diet
Energi 35
kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB, dengan
ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
a. Karbohidrat
sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
b. Protein
untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak sebesar 0,6
g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai, protein dapat diberikan sampai
dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh
karena itu diet ini biasa disebut Diet Rendah Protein. Pada waktu yang lalu,
anjuran protein bernilai biologi tinggi/hewani hingga = 60 %, akan tetapi pada
saat ini anjuran cukup 50 %. Saat ini protein hewani dapat dapat disubstitusi
dengan protein nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk
variasi menu.
c. Lemak
untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak jenuh.
d. Kebutuhan
cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL ± 500
ml.
e. Garam
disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan cairan dalam tubuh.
Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-3000 mg Na/hari.
f. Kalium
disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
g. Fosfor
yang dianjurkan = 10 mg/kg BB/hari
h. Kalsium
1400-1600 mg/hari
2.
Bahan Makanan yang
Dianjurkan
a.
Sumber Karbohidrat:
nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti, kwethiau, kentang, tepung- tepungan,
madu, sirup, permen, dan gula.
b.
Sumber Protein Hewani:
telur, susu, daging, ikan, ayam.
c.
Bahan Makanan Pengganti
Protein Hewani
d.
Hasil olahan kacang
kedele yaitu tempe, tahu, susu kacang kedele, dapat dipakai sebagai pengganti
protein hewani untuk pasien yang menyukai sebagai variasi menu atau untuk pasien
vegetarian asalkan kebutuhan protein tetap diperhitungkan. Beberapa kebaikan dan
kelemahan sumber protein nabati untuk pasien penyakit ginjal kronik akan
dibahas.
e.
Sumber Lemak: minyak
kelapa, minyak jagung, minyak kedele, margarine rendah garam, mentega.
f.
Sumber Vitamin dan
Mineral
g.
Semua sayur dan buah,
kecuali jika pasien mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur
tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan
buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah
dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak menjadi stup
buah/coktail buah.
3. Bahan
Makanan yang Dihindari
Sumber
Vitamin dan Mineral. Hindari sayur dan buah tinggi kalium jika pasien mengalami
hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah bayam, gambas, daun
singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian, dan nangka.
Hindari/batasi
makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema dan asites. Bahan makanan
tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap rasa/kaldu kering, makanan
yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan.
Asuhan
Keperawatan
2.13.1.
Pengkajian
Keperawatan
1. Aktivitas/ istirahat
Gejala : pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak
dapat menolong diri sendiri, pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat
kantung mata.
Tanda
: aktivitas dibantu, pasien terlihat sering menguap
2. Sirkulasi
Gejala
: hipertenti, palpitasi, nyeri dada, distritmia, anemia
Tanda
: kenaikan TD, konjungtiva pucat
3. Ekstremitas
Gejala ; Kulit pucat, keabu-abuan dan kering bersisik serta
pruritus, kuku tipis dan mudah pecah, rambut kering dan mudah putus
4. Integeritas
Ego
Gejala
: riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euporia, marah, faktor
stress multiple
Tanda
: letupan suasana hati, penyempitan kontinue perhatian, tangisan yang meledak,
otot muka tegang, peningkatan pola bicara
5. Eliminasi
Gejala
: Sebelum sakit klien biasa buang air besar dua
kali dalam sehari, konsistensinya lembek, warna feses kuning. Sedangkan untuk
buang air kecilnya lebih dari lima kali dalam sehari, warnanya kuning bening.
6. Makanan/
cairan
Gejala
: porsi makan habis, minum sedikit
7. Neurosensori
Gejala : Tidak ada keluhan sakit kepala, tingkat kesadaran
compos mentis, nilai GCS E: 4, M: 6, V: 5 total 15, tidak ada tanda-tanda
peningkatan TIK, pemeriksaan reflek fisiologis normal dan reflek patologis
tidak.
8. Nyeri/
ketidaknyamanan
Gejala
: nyeri pada bagian pinggang, nyeri
hilang timbul, nyeri abdomen
9. Pernafasan
Gejala : Jalan nafas klien bersih, klien tidak sesak, tidak
menggunakan otot bantu nafas, frekuensi nafas klien 16 x/menit, irama teratur,
nafas dalam, tidak ada batuk, tidak ada seputum, suara nafas vesikular, tidak
ada nyeri saat bernafas.
10. Keamanan
Gejala
: gangguan koordinasi, cara jalan
2.13.2.
Diagnosa
Keperawatan
1.
Resiko tinggi
terhadap penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangan cairan mempengaruhi
volume sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik
2.
Resiko tinggi
terhadap cedera b/d penekanan produksi / sekresi eritropoetin; penurunan
produksi dan SDM hidupnya; gangguan faktor pembekuan; peningkatan kerapuhan
kapiler
3.
Perubahan
proses fikir b/d perubahan fisiologis akumulasi toksin, asidosis metabolik,
hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit d/d disorietasi terhadap orang, tempat,
waktu
4.
Resiko tinggi
terhadap kerusakan integritas kulit b/d akumulasi toksin dalam kulit
5.
Resiko tinggi
terhadap perubahan membran mukosa oral b/d kurang / penurunan salivasi,
pembatasan cairan
6.
Kurang
pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang
terpajan / mengingat salah interpretasi informasi d/d pertanyaan / permintaan
informasi
7.
Ketidakpatuhan
b/d kompleksitas biaya, efek samping terapi
2.13.3.
Rencana
Keperawatan
No
|
Diagnosa
keperawatan
|
Tujuan (NOC)
|
Intervensi (NIC)
|
1
|
Resiko tinggi
terhadap penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangan cairan mempengaruhi
volume sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik
|
Mempertahankan curah jantung
dengan kriteria hasil:
o
TD dan
frekuensi jantung dalam batas normal
o
Nadi
perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
|
o
Auskultasi
bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer / kongesti vaskular dan
keluhan dispnea
o
Kaji adanya /
derajat hipertensi awasi TD; perhatikan perubahan postural
o
Evaluasi
bunyi jantung, TD, nadi perifer, pengisian kapiler kongesti vaskular, suhu
dan sensori / mental
o
Siapkan dialisis
|
2
|
Resiko tinggi
terhadap cedera b/d penekanan produksi / sekresi eritropoetin; penurunan
produksi dan SDM hidupnya; gangguan faktor pembekuan; peningkatan kerapuhan
kapiler
|
Mempertahankan / menunjukkan
perbaikan nilai laboratorium dengan kriteria hasil:
o
Tak mengalami
tanda / gejala perdarahan
|
o
Perhatikan
keluhan penigkatan kelelahan, kelemahan. Observasi takikardia, kulit /
membran mukosa pucat, dispnea dan nyeri dada
o
Evaluasi
respons terhadap aktivitas, kemampuan untuk melakukan tugas
o
Batasi contoh
vaskular, kombinasikan tes laboratorium bila mungkin
o
Observasi
perdarahan terus meerus dari tempat penusukan
o
Kolaborasi
dalam pemberian darah segar, SDM kemasan sesuai indikasi
|
3
|
Perubahan
proses fikir b/d perubahan fisiologis akumulasi toksin, asidosis metabolik,
hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit d/d disorietasi terhadap orang,
tempat, waktu
|
Meningkatkan tingkat mental
biasanya dengan kriteria hasil:
o
Dapat mengidentifikasi
cara untuk mengkompen sasi gangguan
|
o
Kaji luasnya
gangguan kemampuan berpikir, memori dan orietasi
o
Berikan
lingkungan tenang dan izinkan menggunakan televisi, radio dan kunjungan
o
Orientasikan
kembali terhadap lingkungan, orang dan sebagainya
o
Komunikasikan
informasi / instruksi dalam kalimat pendek dan sederhana tanyakan pertanyaan
ya / tidak
o
Tingkatkan
istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur
o
Siapkan untuk dialisis
|
4
|
Resiko tinggi
terhadap kerusakan integritas kulit b/d akumulasi toksin dalam kulit
|
Mempertahankan kulit utuh
dengan kriteria hasil:
o
Dapat
menunjukkan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan / cedera kulit
|
o
Inspeksi
kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskular, perhatikan kemerahan,
ekskoriasi, observasi terhadap ekimosis, purpura
o
Ubah posisi
dengan sering; gerakan pasien dengan perlahan; beri bantalan pada tonjolan
tulang dengan kulit domba, pelindung siku / tumit
o
Berikan
perawatan kulit, batasi penggunaan sabun
o
Pertahankan linen kering, bebas keriput
o
Anjurkan pasien menggunakan
kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan (dari pada garukan) pada
area pruritus
o
Anjurkan
menggunakan pakaian katun longgar
|
5
|
Resiko tinggi
terhadap perubahan membran mukosa oral b/d kurang / penurunan salivasi,
pembatasan cairan
|
Mempertahankan integritas
membran mukosa dengan kriteria hasil:
o
Dapat
mengidentifi kasi / melakukan intervensi khusus untuk meningkatkan kesehatan
mukosa oral
|
o
Inspeksi
rongga mulut, perhatikan kelembaban, karakter saliva, adanya inflamasi,
ulserasi, leukoplakia
o
Berikan
cairan sepanjang 24 jam dalam batas yang ditentukan
o
Berikan
perawatan mulut sering / cuci dengan larutan asam asetik 25%; berikan permen
karet, permen keras, minta pernafasan antara makan
o
Anjurkan
higiene yang baik setelah makan dan pada saat tidur
o
Anjurkan
pasien menghentikan merokok dan menghindari produk / pencuci mulut lemon /
gliserin yang mengandung alkohol
o
Berikan
obat-obatan sesuai indikasi, mis: antihistamin
|
6
|
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan / mengingat salah interpretasi
informasi d/d pertanyaan / permintaan informasi
|
Kebutuhan akan pengetahuan
terpenuhi dengan kriteria hasil:
o
Menyatakan
pemahaman kondisi / proses penyakit dan pengobatan
o
Melakukan
dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan untuk tindakan
|
o
Kaji ulang
proses penyakit / prognosis dan kemungkinan yang akan dialami
o
Diskusikan
masalah nutrisi lain, contoh: pengaturan masukan protein sesuai dengan
tingkat fungsi ginjal
o
Diskusikan
terapi obat, termasuk tambahan kalsium dan ikatan fosfat
o
Tekankan
pentingnya membaca semua label produk dan tidak meminum obat tanpa menanyakan
pada pemberi perawatan
o
Waspadakan
tentang terpajan pada suhu eksternal ekstrem contoh bantalan panas / salju
o
Buat program
latihan rutin dalam kemampuan individu, menyelingi periode istirahat dengan
aktivitas
|
7
|
Ketidakpatuhan
b/d kompleksitas biaya, efek samping terapi
|
Menyatakan pengetahuan akurat
tentang penyakit dan pemahaman program terapi dengan kriteria hasil:
o
Berpartisipasi
dalam membuat tujuan dan rencana pengobatan
o
Membuat
pilihan pada tingkat kesiapan berdasarkan informasi yang akurat
|
o
Yakinkan
persepsi / pemahaman pasien / orang terdekat terhadap situasi dan konsekuensi
perilaku
o
Dengarkan /
mendengarkan dengan aktif pada keluhan / pernyataan pasien
o
Identifikasi
perilaku yang mengindikasikan kegagalan untuk mengikuti program pengobatan
o
Kaji tingkat
ansietas / kemampuan kontrol, perasaan tak berdaya
o
Buat sistem pengawasan
diri, contoh: TD, penimbangan, memberikan salinan laporan laboratorium
o Berikan umpan balik positif untuk upaya / keterlibatan dalam terapi
|
DAFTAR
PUSTAKA
Carpenito,
Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta :
EGC
Doenges E, Marilynn, dkk.
(1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.Jakarta : EGC
Long,
B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan)
Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan
Lumenta,
S. (2005). Komplikasi Hemodialisis. Pelatihan Perawat
Hemodialisis RS PGI Cikini. Jakarta.
Marthalena
Siahaan (2009). Pengaruh Discharge
Planning Yang Dilakukan Oleh Perawat
Terhadap Kesiapan Pasien Pasca Bedah Akut Abdomen Menghadapi
Pemulangan di RSUP H. Adam Malik Medan.
http://respository.USU.ac.id.
Tanggal akses 26/07/2017.
Muhammad, A. (2012). Pengertian Gagal Ginjal Kronik.
Banguntapan, Jogjakarta. Ayu, 2010
Muhsin.
2009. Gagal Ginjal Kronik. http://www. PPPI. Depkes.go.id. diakses
pada tanggal 15 Juli 2017.
Muttaqin
Arif, Sari Kumala. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
Ninis
Nuriana (2014). Gambaran Faktor Penyebab Pasien Tidak Patuh
Dalam Menjalani Terapi Hemodialisis di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. Karya Tulis
Ilmiah, Surabaya. Tidak dipublikasikan.
Ninis
Nuriana (2014). Gambaran Faktor Penyebab Pasien
Tidak Patuh Dalam Menjalani Terapi
Hemodialisis di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. Karya Tulis
Ilmiah, Surabaya. Tidak dipublikasikan.
Nursalam
dan Fransiska (2009). Asuhan Keperawatan Pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika
Pertemuan
Ilmiah Tahunan Nasional PPGII.(2010). Perawatan Pada
Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis Secara Komprehensif.
Semarang.
Price,
Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Setyawan,
(2005). Asuhan Keperawatan Pada Penderita Hemodialsis
dan Pasca Hemodialsis..Surabaya.
Smeltzer,
Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Soewanto.
(2006). Infeksi pada Penderita Hemodialisis, Majalah Ilmu
Penyakit Dalam, Vol.18 no 1 FK Unair-RSUD Dr.Soetomo, Surabaya.
Suharyanto,
Toto dan Abdul Madjid (2009). Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta
: Trans Info Medika.
Suyono,
Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II.
Jakarta.: Balai Penerbit FKUI
|
FADHIL AKMAL
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI |
|
0 komentar:
Posting Komentar